Oleh Robby Bouceu G.
(Ilustrasi Oleh M. Lagam Alfaruqi)
Hal apa sih yang pertama kali Bung dan Nona lamunkan
ketika berjumpa dengan kata pengadilan? Deretan kursikah, ketok palukah, atau
serangkaian peristiwa tanya-jawab yang berlangsung dalam tensi penuh tegangan?
Apa pun lamunan Bung dan Nona yang berkaitan tentang pengadilan, yang jelas,
dalam perjalanan Sastra Indonesia kata itu pernah bersanding dengan kata puisi,
menjadi Pengadilan Puisi.
Pengadilan Puisi
merupakan nama sebuah acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Arena pada
tanggal 8 Maret 1974, di Aula Universitas Parahyangan, Bandung. Acara ini diikuti oleh sejumlah
pegiat Sastra Indonesia. Pada acara tersebut, Slamet Kirnanto–yang bertindak sebagai Jaksa –membacakan tuntutannya
yang bertajuk Saya Mendakwa Kehidupan
Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!.
H.B. Jassin dalam Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan
Puisi Indonesia Mutakhir menyatakan bahwa susunan personil dari Pengadilan
Puisi adalah sebagai berikut:
- Hakim Ketua : Sanento Yuliman.
- Hakim Anggota : Darmanto Jt.
- Jaksa Penuntut Umum : Slamet
Kirnanto.
- Tim Pembela : Taufiq Ismail,
Sapardi Djoko Damono (absen), Handrawan Nadesul.
- Terdakwa : Puisi Indonesia
Mutakhir.
- Para Saksi:
- Saksi yang meringankan: Saini K.M.
(Bandung), Adri Darmadji (Jakarta), Wing Kardjo (Bandung), Abdul Hadi W.M.
(Bandung), Umbu Landu Paranggi (Yogya, absen), Yudhistira Ardi Noegraha
(Jakarta)
- Saksi yang memberatkan: Sutardji
Calzoum Bachri (Bandung), Sides Sudyarto DS (Jakarta)”.
Dalam Pamusuk Erneste (1986), dalam
tuntutannya itu, Slamet Kirnanto menyatakan "menimbang perlunya
menghembuskan lagi udara segar dalam kehidupan sastra puisi kita, dan menuntut
yang adil dan wajar dari kondisi sastra kita, membersihkan semak dan belukar
yang menghambat langkah dari kecenderungan yang sedang tumbuh sekarang;
berdasarkan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Puisi), seperti terjelma dalam
pasal demi pasalnya yang merupakan pencerminan dari aturan permainan sehat;
dengan ini kami sangat bertindak selaku Jaksa Penuntut Umum dalam ‘Peradilan
Puisi Kontemporer’, mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Para kritikus yang tidak mampu
lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan
M.S. Hutagalung harus ‘dipensiunkan’ dari peranan yang pernah mereka miliki.
2. Para editor majalah sastra,
khususnya Horison (Sapardi Djoko
Damono) dicutibesarkan.
3. Para penyair established (mapan):
Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis
puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi
inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil.
4. Horison dan Budaya Jaya
harus dicabut "SIT"-nya dan yang terbit selama ini dinyatakan tidak
berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan
mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan sehat dan wajar”.
Tuntutan yang diajukan oleh Slamet
Kirnanto sebagaimana dituturkan di atas, dapatlah disimpulkan sebagai wujud
ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia kala itu, terkait (1) sistem
penilaian terhadap puisi Indonesia, (2) kritikus sastra Indonesia, (3) media
yang memuat karya sastra Indonesia, dan (4) beberapa penyair Indonesia yang
dianggap mapan. Kemudian
hal inilah yang membuat mereka, yang
banyak disebut-sebut dalam "Pengadilan Puisi" di Bandung (karena
dianggap "bertanggung jawab" terhadap kehidupan Puisi Indonesia)
sengaja diundang untuk berbicara dalam acara "Jawaban Atas Pengadilan
Puisi" yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
Jakarta, 21 September 1974; sebuah acara yang barangkali bisa dikatakan sebagai
ronde kedua Pengadilan Puisi di Bandung. Dalam acara ini, H.B. Jassin, M.S.
Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono "menjawab"
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Slamet pada mereka.
0 komentar: