Penulis: Shaninta H.
Redaktur: Limya Oktaviani
Ilustrasi: Ayu Fitriyani
Aku
telanjang.
Panas,
panas, amat panas…
Teriakan,
tangisan, erangan…
Riuh,
sangat riuh…
AMPUN..
AMPUN..
KENAPA AKU
MINTA AMPUN?
BUKAN AKU
YANG SALAH, BUKAN, BUKAN AKU!!!
Tiba-tiba
pendaran cahaya mendekati dan menepuk pundakku.
***
Aku
melangkah terus menerus, mengikuti kemajuan industri yang semakin tak masuk
akal.
Pukul
07.00
Alarmku
berbunyi, menandakan bahwa aku harus pergi ke kantor, mengambil handuk, lalu
mandi.
Kalau
sempat.
Sering
kali hanya cuci muka dan sikat gigi.
Setelah itu,
aku menuju meja makan. Niatnya sih sarapan, kalau sempat. Sering kali beli
burger di drive thru, makan sambil
mengemudi.
Sampai
kantor pukul 09:15.
Lagi-lagi
aku telat bekerja, bukan salahku. Itu salah ibu kota.
Sesampainya
di kantor, seperti biasa. Aku duduk berhadapan dengan PC. Isinya ya itu-itu
lagi.
Paling
senang jika bel kantor berbunyi, pukul 12:00, menandakan waktu istirahat dan
makan siang.
Lagi-lagi
kalau sempat. Sering kali aku pesan ayam crispy
dari aplikasi. Bayar pake uang yang nggak keliatan. Uang internet.
Aku makan
siang sembari bekerja berhadapan dengan PC. Isinya ya itu-itu lagi.
Pukul 17:00, bel kantor bunyi lagi. Senang
sekali rasanya bisa pulang ke rumah
dan istirahat. Apalagi sambil dipijitin istri.
Ekspetasi.
Realitanya,
lembur lagi sampai pukul 23:00.
Sudah
lelah, ingin cepat berbaring di ranjang.
Baru sampai rumah, istri udah minta jatah. Jatah uang bulanan. Padahal tiap aku
minta jatah goyang, dia nggak pernah ngasih, malah nyuruh pake lonte.
“Pak!
Minta tambahlah gajimu itu. Pulang tiap hari tengah malam, tapi gajimu
segitu-gitu aja. Presiden cuma nyuruh-nyuruh gajinya udah bisa beli pulau!”
Itu
kata-kata langganan. Otomatis keluar dari mulutnya tiap aku pulang kerja. Kalau
kujawab,
“Yaudah
Mah, cukup kan buat beli make up sama
belanja bulanan, apalagi yang kurang?”
Pasti
semprotannya begini,
“Sekarang
jaman udah canggih,
Pak! Aku nggak mau make up bedakan,
lipstikan terus! Aku mau sulam alis, sulam bibir, extention bulu mata, sekalian kalo perlu operasi plastik sama operasi payudara!
Biar nggak
kalah sama istrinya Tarno!”
Kalau
sudah begitu,
biasanya aku tinggal masuk kamar.
Belum
lagi, kalau pagi di hari minggu. Anak balitaku hobinya ngeluh, minta mainan
baru.
“Yah, gadget-ku sudah usang, aku mau gadget yang layarnya bagus, biar bisa
main PABJI.”
Ya,
begitulah isi kepalaku.
Mikirin
istri sama anak yang takut ketinggalan jaman.
Begitu…
Berulang…
Terus
berulang setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya.
Sampai
suatu waktu, istriku sedang di dapur.
Motong daging buat bikin rendang, katanya mau dikasih ke keluarga Tarno, katanya. Katanya. Tapi aku
percaya kok. Istriku nggak mungkin bikin buat Tarno seorang.
Aku peluk
ia dari belakang.
Tiba-tiba
tanganku menyenggolnya dan membuat tangannya terpotong pisau daging. Aku panik,
mengambil pisau daging tersebut. Terlalu panik. Sampai tidak sengaja perutnya
juga tertusuk pisau daging.
Tiba-tiba
anakku pulang dari sekolah.
“Ayah!!
Ayah bunuh Ibu!!”
Aku panik,
aku sedih.
Anakku
berlari, aku kejar, aku ingin memeluknya.
Aku panik,
aku kejar, aku panik, aku kejar…
Akhirnya…
Aku
memeluk anakku. Aku menjadi tenang.
Tapi,
lagi-lagi aku panik.
Perut
anakku berdarah…
Tidak! Ini
arwah istriku yang membawa anakku ikut ke neraka!
Tidak!
Aku harus
mengejar mereka.
0 komentar: