Penulis: Ninda Annisa
Redaktur: Limya Oktaviani
Ilustrasi oleh: Nurul Ramdhiany
Manusia memang menyeramkan dan tidak
terduga, bukan?
Saya baru saja
mendengarkan cerita seorang anak SMA, tepatnya tetangga saya, yang dimarahi
ibunya karena nilai ulangannya tidak begitu bagus. Untuk mempelajari materi
ulangan pun ia dipaksa belajar sampai larut malam. Pernah ibunya tidak memberi
ia makan sebelum ia menyelesaikan soal-soal latihan di buku sekolahnya.
Menurutnya, hal paling parah yang pernah ibunya katakan adalah ibunya malu
mempunyai anak bodoh sepertinya. Ia langsung lari ke rumahku sambil menangis.
Saya menatapnya iba, sambil menepuk punggungnya pelan.
Saya jadi teringat saat saya baru pindah
ke rumah ini.
Sudah dua bulan sejak
saya pindah ke rumah ini. Saya pindah karena merasa kesepian di rumah saya yang
dulu. Padahal rumah saya sebelumnya tidak pernah membiarkan penghuninya merasa
kesepian. Ya, sebelum hal itu terjadi. Siapa sangka adik saya yang polos
sekali itu mempunyai pikiran untuk bunuh diri karena omongan orang lain? Iya
saya mengerti, mungkin ia lelah mendengar ejekan orang lain, tetapi haruskah
bunuh diri? Siapa sangka orang tua saya pun mempunyai pikiran untuk lebih baik
ikut mati daripada hidup tanpa anak bungsunya itu? Saya ditinggal sendiri oleh
mereka. Saya yang tiba-tiba merasa kesepian jadi sering berpikiran untuk ikut
bunuh diri. Jika saya bertemu kembali dengan keluarga saya di alam sana, saya
tidak perlu merasa sepi dan sedih, bukan? Tetapi saya menghapus pikiran itu
karena saya merasa masih memiliki tugas di dunia ini. Mungkin saya akan
mengikuti jalan mereka jika tugas saya di dunia sudah tuntas.
Rasa sepi dan sedih
yang semakin mencekik itu membawa saya keluar dari rumah. Akhirnya, di sinilah
saya-
di sebuah perumahan sederhana yang dihuni oleh keluarga-keluarga sederhana pula.
Saat pertama kali pindah sebagai tetangga baru yang membutuhkan banyak bantuan
untuk mehilangkan rasa kesepian, saya memutuskan untuk mendatangi rumah-rumah
di blok A. Tidak lupa saya membawa bingkisan berisi kue yang saya buat khusus
untuk dibagikan kepada tetangga-tetangga saya. Semoga tetangga saya bisa
membantu mengusir rasa kesepian ini, harapan saya saat itu.
Perjalanan saya dari
satu rumah ke rumah lainnya berjalan sangat lancar sampai ketika saya tiba di
depan rumah yang letaknya hanya dipisah oleh dua rumah dari rumah saya. Saya
tidak berani mengetuk pintu rumah tersebut karena saat saya baru hendak membuka
pagar saja, saya dapat mendengar suara teriakan dari rumah tersebut. Saya duga
di dalam rumah itu ada seorang ibu yang sedang memarahi anaknya. Setelah
menguping sebentar, saya memutuskan untuk tidak mengunjungi rumah tersebut
karena tidak yakin amarah ibu itu akan hilang dalam sekejap. Suara yang
dikeluarkannya saja semakin tinggi. Daripada saya disambut ibu tersebut dengan
raut wajah kesal habis memarahi sang anak, lebih baik saya pulang. Ya, anak
itu adalah anak SMA yang sedang menangis di rumah saya saat ini.
Saya pertama kali kenal
Ajeng -nama
anak SMA itu-
saat saya mengunjungi rumahnya dua hari setelah saya pindah. Saya akhirnya
memutuskan untuk datang ke rumah Ajeng, karena merasa tidak baik jika saya
tidak memberi bingkisan kue pada keluarga mereka juga. Kata Ajeng, ibunya
berterima kasih atas bingkisan kue yang saya berikan. Maka dari itu, ibu Ajeng
memberi saya semangkuk sayur sop. Sejak saat itulah kami sering saling memberi
makanan dengan alasan sama-sama tidak enak jika tidak memberi makanan kembali.
Saya juga menjadi dekat dengan Ajeng, karena ia yang sering disuruh ibunya
mengantar makanan ke rumah saya. Kebaikan ibu Ajeng membuat saya tidak percaya
kalau ada yang berkata bahwa ia sangat keras dalam mendidik anaknya. Saya
sempat menduga saat itu Ajeng berbuat salah sehingga wajar dimarahi. Namun
dugaan saya salah. Ajeng memang sering dimarahi. Bahkan karena hal kecil sekali
pun. Saya tahu karena saya sudah menjadi teman bercerita Ajeng- tentang sekolah, tugas, dan tentunya
tentang omelan sang ibu.
Melihat Ajeng yang
sering dimarahi membuat saya merasa kasihan. Saya bingung juga, kenapa ibu
Ajeng sering memarahi anaknya begitu. Sampai-sampai ia tak segan untuk memukul
anaknya dengan rotan hanya karena masalah nilai. Ibu saya saja tidak pernah
memarahi adik saya walaupun nilai-nilainya tidak begitu bagus. Oleh karena itu,
saya berusaha menjadi pendengar yang baik bagi Ajeng. Saya selalu bersedia
mendengar keluh kesahnya setiap hari. Saya tidak mau Ajeng, yang sudah saya
anggap sebagai adik saya sendiri, mengakhiri hidupnya seperti adik saya. Adik
saya yang mendengar omongan menyakitkan dari orang lain saja bisa bunuh diri
seperti itu, apalagi Ajeng yang sering mendengar omongan menyakitkan dari
ibunya sendiri. Saya juga merasa adik saya memutuskan untuk bunuh diri karena
tidak ada yang bisa menjadi pendengar cerita untuknya.
“Sudah ya, Ajeng.
Jangan menangis terus. Ibu Ajeng mungkin sedang banyak pikiran, makanya bisa
berkata seperti itu.”
“Ibu keterlaluan, Mbak
Lira. Masa Ibu bisa bilang begitu. Aku ‘kan anak Ibu.”
“Iya, Mbak juga tahu Ibu
Ajeng keterlaluan. Sudah ya, jangan nangis. Kamu belum makan, ‘kan? Mau makan?
Mbak baru masak tadi. Siapa tahu masakan Mbak bisa bikin Ajeng nggak sedih
lagi.”
Ajeng yang awalnya
hanya menundukkan kepala sambil menangis, akhirnya mendongakkan kepalanya untuk
mengangguk. “Iya, Mbak, aku mau. Nangis ini bisa bikin lapar ya ternyata.”
Saya tersenyum
mendengar jawaban Ajeng. “Mbak kira saking sedihnya, Ajeng nggak akan merasa
lapar. Ternyata masih bisa merasa lapar ya.”
Ajeng tertawa kecil
sambil memegangi perutnya. “Sebenarnya dari tadi perut Ajeng ini bunyi terus,
minta dikasih makan. Tapi Ajeng tahan karena malu. Masa sudah nangis begitu
malah bilang lapar. Untung Mbak yang bilang duluan. Makasih ya, Mbak.” Ajeng
tersenyum pada saya. Saya tersenyum lebar, senang bisa membuat Ajeng berhenti
menangis.
Saya beranjak dari sofa
yang berada di ruang tengah dan mengajak Ajeng pergi ke dapur. “Duduk di sini,
Jeng. Mbak ambilkan piring sama sendok, ya. Ajeng duduk saja,” ujar saya,
kemudian dibalas Ajeng dengan anggukan kepala.
Setelah meletakkan
piring di depan Ajeng, saya membuka tudung makanan di meja dan meletakkannya di
kursi kosong. “Ini, sederhana saja sih Mbak masaknya, tapi enak kok, Jeng. Mbak
‘kan, jago masak.”
Ajeng mengikik. “Iya,
Mbak. Nggak apa-apa, Ajeng senang.”
Saya hanya tersenyum
menanggapi perkataan Ajeng. Saya menatapi Ajeng yang sedang makan, namun sebisa
mungkin tidak menatapnya dengan rasa kasihan. Sebenarnya, memang merasa
kasihan. Untuk anak SMA bertinggi badan melewati seratus enam puluh
sentimeter, Ajeng terbilang kurus. Mungkin berat badannya di bawah lima puluh
kilogram. Saya tertegun. Masa Ajeng jarang diberi makan oleh orang tuanya?
Atau ia terlalu rajin belajar sampai sering lupa makan?
“Wah, sayurnya enak
sekali, Mbak.”
“Pasti enak dong, Jeng.
‘Kan Mbak yang masak.”
“Iya, iya. Mbak jago
masak deh!”
“He-he. Oh, iya, Jeng.
Mbak lihat, kamu kurang sehat. Pucat. Mau minum vitamin? Mbak masih simpan
vitamin yang suka adik Mbak minum dulu. Dulu dia langsung segar bugar lho
setiap habis minum vitaminnya. Mau coba?”
“Wah, boleh, Mbak.
Ajeng nggak pernah lho, minum vitamin.”
“Padahal yang rajin
belajar kayak Ajeng gini mesti minum vitamin biar tetap bugar. Bentar ya, Mbak
ambilkan vitaminnya.”
Ajeng menggangguk lalu
menyantap kembali makanannya, sementara saya mengambil botol berisikan vitamin
di laci. “Ini vitaminnya, bentuk tablet. Tapi jangan langsung Ajeng minum
selesai makan, ya? Tunggu satu jam dulu.”
“Oke, Mbak.”
Setelah Ajeng selesai
makan, saya berusaha mencari topik pembicaraan yang sekiranya dapat membuat
Ajeng merasa bahagia dan melupakan kesedihannya. Saya berhasil, kami sudah
berbicara selama hampir satu jam dengan diselingi gelak tawa. Lagi-lagi saya
senang, bisa membuat Ajeng bahagia. Pembicaraan kami terhenti saat saya menerima
telepon dari kawan saya. “Mbak angkat telepon dulu ya, Jeng. Vitaminnya dimakan
sekarang juga boleh. Langsung tutup botolnya kalau sudah diambil vitaminnya,
ya? Jangan lupa ambil minum air mineral sebelum makan vitamin. Sebentar, ya.”
Baru saja saya hendak
mengangkat telepon dari kawan, saya mendengar Ibu Ajeng meneriakkan nama Ajeng
di luar, sambil mengetuk beberapa kali pintu rumah saya. Saya yang saat itu
berada di ruang tengah, segera menemui Ajeng. Saya mendapati raut wajah Ajeng
berubah menjadi ketakutan, rupanya ia sudah mendengar suara ibunya.
“Ajeng, kamu harus
segera menemui ibu kamu,” ucap saya sedikit tergesa-tergesa karena panik.
“Kalau kamu lebih lama tinggal di sini, ibumu bakal lebih marah lho, Jeng.
Lebih baik kamu temui ibumu sekarang. Mbak nggak mau kamu kenapa-kenapa karena
ibumu,” ucap saya dengan tatapan mata yang dibuat-buat untuk meyakinkan Ajeng.
Saya bingung mau
berkata apa lagi untuk meyakinkan Ajeng. Saya tidak mau Ajeng dipukuli, tetapi
saya tidak mungkin membiarkannya terus berada di sini. Apalagi suara ketukan
pintu yang dibuat ibu Ajeng terdengar makin keras. Saya rasa jika ibu Ajeng
terus begitu selama satu jam, pintu rumah saya bisa berlubang. Maka saya dengan
cepat kembali meyakinkan Ajeng. “Mbak yakin, seratus ribu persen, Ibu Ajeng
nggak akan memukul Ajeng. Jangan takut. Kalau ada apa-apa, teriak saja. Nanti
Mbak diam di depan rumah Ajeng. Jadi kalau Ajeng teriak, Mbak bisa dengar dan
bisa langsung masuk ke rumah Ajeng. Gimana?” Saya memeluk Ajeng. Malang
sekali kamu, Ajeng. Coba saja kamu bukan anak ibu kamu yang sekarang ini.
Mungkin kamu akan lebih lama merasa bahagia.
Sepertinya perkataan
saya yang terakhir berpengaruh kepada Ajeng karena ia tiba-tiba melepas pelukan
saya dan berlari menuju pintu depan. Saya bisa mendengar omelan ibunya
samar-samar dari dalam. Ketika saya pergi ke luar, tetangga-tetangga saya
terlihat berbisik. Satu dari tetangga-tetangga saya bertanya apa yang terjadi,
kemudian saya jawab, “Seperti biasa, Bu.” Ya, seperti biasa. Semua tetangga
‘kan sudah tahu betapa kerasnya Ibu Ajeng dalam mendidik anaknya. Mereka
menduga ia bertindak demikian karena tidak puas dengan nilai yang didapatkan
anaknya.
Setelah puas karena
tahu penyebab keributan yang terjadi, semua masuk ke dalam rumah, termasuk
saya. Saya sebenarnya mengkhawatirkan Ajeng, tetapi saya tidak berani untuk
benar-benar menunggu di depan rumahnya. Maaf, Jeng. Mbak memang penakut.
Tidak berani menyerahkan diri.
Saya tidak sadar tengah
melamun, sebelum saya dikejutkan oleh suara sirine. Mobil polisi atau ambulans,
saya tidak tahu pasti. Saya melihat keadaan di luar melalui kaca depan rumah
saya. Sepertinya hampir semua penghuni rumah di blok A mengerumuni entah apa
itu. Namun saya menjadi yakin yang dikerumuni itu adalah Ajeng ketika saya
mendengar warga berulang kali berkata, Ajeng meninggal. Saya terkejut
bukan main. Bergegaslah saya pergi ke luar rumah untuk memastikan apa yang
terjadi. Sebelum saya sampai ke depan rumah Ajeng, saya mendengar tetangga-tetangga
berbisik bahwa Ibu Ajeng diduga membunuh anaknya sendiri. Saya langsung lari ke
dalam rumah, mengambil kunci mobil dan beberapa barang lainnya, kemudian
mengunci rumah, dan mengendarai mobil saya ke arah berlawanan dari tempat
kerumunan.
Manusia memang menyeramkan, bukan?
Seorang ibu telah membunuh anaknya
sendiri, dengan kata-kata yang dilontarkannya.
Betul, saya juga manusia. Kau tahu
jawabannya, bukan?
0 komentar: