![]() |
Penulis: Alfa Fadhila Redaktur: Faris Al & Azaina F. Desain: Ninda Annisa |
Teras Abu tampak
tak biasa dua hari kemarin. Teras yang biasanya kosong itu tiba-tiba terisi
oleh jajaran karya-karya mahasiswa Sastra Indonesia. Karya yang dipajang cukup
beragam, mulai dari puisi, fotografi, seni rupa, dll. Ini merupakan rangkaian
kegiatan “Pajang Karya” yang digagas oleh Departemen Ideologi Gelanggang
berkolaborasi dengan “Mabim Retropolis”.
Kegiatan yang
berlangsung selama dua hari tersebut merupakan wujud apresiasi dari Departemen
Ideologi Gelanggang kepada mahasiswa Sastra Indonesia yang berkarya di bidang
seni dan sastra. Mahasiswa Sastra Indonesia bebas memajang hasil karya mereka
untuk dipamerkan di sana. Selain untuk menunjukkan kreatifitas warga Gelanggang,
kegiatan ini juga bertujuan agar warga Gelanggang lebih berani unjuk gigi kepada
khalayak. “Acara ini sebenarnya dibuat memang untuk mengapresiasi warga Gelanggang
yang suka berkarya, mau itu karya sastra ataupun karya seni, sekaligus
menunjukkan ke masyarakat FIB kalau warga Gelanggang tuh produktif dan berbakat. Intinya, sih, biar gak cuma disimpen
di laptop atau dipajang di kamar doang,”
ujar Annisa (2016).
![]() |
beberapa karya warga Gelanggang yang dipajang di sekitar teras abu |
![]() |
Foto hasil jepretan warga Gelanggang yang dipajang di sekitar teras abu |
Pada hari pertama (01/4), Teras Abu tak terlalu ramai. Wajar saja, pada hari itu agenda kegiatan “Pajang Karya” hanya pameran hasil karya saja. Mahasiswa datang dan pergi di sela-sela aktifitas kuliahnya, melihat-lihat buah kreatifitas warga Gelanggang yang dipajang di sana.
![]() |
Sogen (2017) tengah membacakan puisi saat kegiatan pajang karya |
Tidak demikian dengan
hari kedua (02/4), kegiatan “Pajang Karya” dimulai dengan pembacaan puisi oleh
Alfin (2018) lalu disusul oleh dua rekannya, Kahfi dan Jabal (2018). Mendung
yang menyelimuti Teras Abu turut menciptakan kesakralan di tengah-tengah
pembacaan puisi mereka. Kemudian,
penonton dijamu dengan sebuah performance
art yang memukau bertajuk sexual
harassment. Annisa (2016) dengan kostumnya berupa jaket kebanggan kita
semua—jaket FIB—berdiri pasrah atas perlakuan tiga rekannya; Alfin, Azmi, dan
Kahfi (2018) yang menodai jaket yang ia kenakan dengan tangan bersimbah cat
putih. Di tengah aksi mereka, Jabal (2018) muncul dengan puisi “Jeritan M” yang
pilu. Pertunjukan diakhiri dengan jeritan Annisa yang mewakili suara para
korban pelecehan seksual yang parau di tengah masyarakat dan sistem sosial yang
tak berpihak pada mereka.
Rafli (2018),
inisiator dari performance art
bertajuk sexual harassment diwakili
oleh Annisa, dengan perlambangan yang ditampilkan dalam pertunjukan tersebut dan
tanpa menyinggung pihak manapun, berupaya menyampaikan bahwa pelecehan seksual
itu sangat nyata dan ada di sekitar kita. Memang, bekas ‘sentuhan’ tidak akan
terlihat, tetapi bagi korban, jejak tersebut akan tetap ada dan memunculkan
luka di hati dan ingatan mereka. Annisa juga menyampaikan bahwa performance art tersebut merupakan alat
propaganda Departemen Ideologi untuk kegiatan “Dimanja” yang mengangkat isu
pelecehan dan kekerasan seksual di ranah kampus.
Tak sampai di
situ, “Pajang Karya” semakin meriah ketika live
mural art dimulai. Siapapun bebas menumpahkan ekspresi mereka dengan media
cat dan papan tripleks. Warga Gelanggang
mulai banyak berdatangan dan turut melukis atau sekadar mencoret-coret papan
yang disediakan. Dalam sekejap, papan itu tak lagi polos di tangan mereka.
Kegiatan “Pajang
Karya” kian lengkap dengan adanya panggung bebas yang memberi ruang bagi warga Gelanggang—khususnya—untuk
membaca puisi. Mahasiswa Sastra Indonesia dari berbagai angkatan satu per satu
menampilkan kelihaiannya dalam membawakan puisi. Puisi yang dibacakan pun tak
hanya karya sastrawan-sastrawan yang akrab di kalangan mahasiswa sastra, tetapi
juga puisi-puisi karya sendiri yang tak kalah indahnya.
Antusiasme warga Gelanggang tak surut meski
Teras Abu terus
diliputi mendung. Dingin yang diam-diam menyusup di pori-pori kulit kalah oleh
semangat mereka yang kian membara. Suasana semakin riuh tatkala Kelana (2015)
menyanyikan tembang The Man Who Can’t Be
Moved, lagu yang cocok didengarkan kala cuaca—di luar dan di dalam
diri—sedang dingin. Tak ingin kalah, Asep (2018) pun kembali ‘membakar’ teras
abu dengan tembang-tembang dangdut yang ia bawakan. Canda dan tawa terdengar nyaring
di sela-sela cengkok suara Asep yang meliuk-liuk. Rasa-rasanya, panggung itu takkan
bubar jika langit tak menumpahkan hujan yang deras seketika.
Annisa, Kepala
Departemen Ideologi Gelanggang, menyampaikan harapannya dan rekan-rekan
sedepartemennya mengenai keaktifan warga Gelanggang melalui
kegiatan-kegiatan semacam ini, “Harapannya, sih, warga Gelanggang terus aktif
berkarya dan berproses di bidang apapun tanpa perlu ragu, karena Gelanggang pun selalu
mendukung.”
Meski telah usai,
kegiatan itu menyumbangkan setidaknya satu celah di antara sekat-sekat ruang
kelas dan keruwetan temali kehidupan yang seringkali membelenggu kebebasan
untuk sekadar ber-hahaha. Hujan
semakin deras, menyuburkan tunas-tunas baru bernama harapan.
0 komentar: