![]() |
Penulis: Nurul Ramdhiany Redaktur: Faris A, Azaina Ilustrasi: Diana Dewi Darwin |
Pagi hari libur itu, saya bangun lebih awal dari biasanya. Rencananya, saya bersama seorang kawan saya untuk pertama kalinya akan mengikuti Women’s March Bandung yang digelar pada Sabtu (27/04). Berhubung saya berangkat dari Jatinangor, tentu harus berangkat pagi-pagi sekali agar datang tepat waktu. Berdasarkan informasi di akun instagram @womensmarchbdg, acara akan dimulai pukul 07.00 WIB.
Sampai di Taman Cikapayang Dago, saya melihat lebih
dari seratus orang perempuan dan laki-laki berkumpul untuk melakukan pawai ke
gedung DPRD Provinsi Jawa Barat lengkap dengan papan tuntutan. Women’s March
Bandung 2019 kali ini menyuarakan perlawanan
terhadap kekerasan seksual dalam mendorong kesadaran dan pemahaman
publik terhadap gerak nyata bersama masyarakat dengan slogan #beranibersuara.
![]() |
Salah satu peserta Women's March Bandung menyuarakan keresahannya lewat plang di gedung DPRD Kota Bandung pada Sabtu, (27/04) |
Berangkat dari kekesalan dan kekecewaan pada
maraknya kasus pelecehan dan kejahatan seksual, saya memilih untuk ikut terjun ke aksi. Mirisnya, banyak kasus yang terjadi di lingkungan yang menjunjung tinggi nilai serta moral, yaitu institusi
pendidikan. Melihat dari kasus Agni dan Baiq Nuril, contohnya, kasus Agni (bukan nama sebenarnya) berakhir dengan sang gadis menandatangani
kesepakatan non-litigasi bersama terduga pelaku pemerkosaan HS dan Rektorat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Lalu kasus Baiq Nuril pun berakhir dengan
kriminalisasi korban, yaitu Baiq Nuril. Ia didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE karena menyebarkan konten bermuatan
asusila—rekaman
percakapan telepon antara dirinya dengan mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram,
Muslim. Baiq Nuril diberi sanksi enam bulan penjara dan denda 500 juta. Korban
diibaratkan seperti ‘sudah jatuh, tertimpa tangga pula’. Mereka menjadi korban kejahatan seksual sekaligus
korban kriminalisasi dan diskriminasi.
Tema Women’s March
Bandung 2019, yakni kekerasan seksual berbasis seksualitas dan gender dengan sub tema pengesahan
RUU Penghapusan kekerasan seksual, perlawanan
kekerasan seksualitas gender, dan
juga perlawanan terhadap eksploitasi anak. KPAI mencatat di awal tahun 2018 ada
sebanyak 32 kasus human trafficking/ perdagangan manusia dan eksploitasi yang dialami oleh anak-anak
di Indonesia. Dalam papan tuntutan yang dibawa peserta Women’s March diantaranya
“Stop eksploitasi
anak”, “Agama
bukan alat perlindungan predator seksual”, “Semua gender adalah manusia”,
“Anak-anak
kami yang harus dilindungi bukan para predator seksual”, hingga “Sahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual”. Seperti yang kita tahu, RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual sempat ramai diperbicangkan karena berjalan sangat alot, melewati batas
pemilu dengan pemerintahan baru, perjuangan RUU PKS selama lebih dari empat tahun akan kembali
lagi ke angka nol.
Saya mengikuti
acara Women’s March hari itu dengan harapan agar pembuat kebijakan segera memperhatikan kesetaraan
gender dalam tingkatan sosial yang belum tersentuh oleh hukum, serta mengingat bahwa perempuan
lebih dari sekadar affirmative action.
0 komentar: