Penulis: Faris Al-Furqan Redaktur: Nigina Aulia Ilustrator: Al Aniyah
Pada awal April lalu, ratusan pegawai KPK
mengungkapkan hambatan perihal pengusutan kasus korupsi akhir-akhir ini.
Hambatan yang dimaksud adalah kebocoran operasi tangkap tangan (OTT), buntunya
pengembangan kasus, terhalangnya penggeledahan, serta rumitnya birokrasi saat
hendak melakukan penindakan. Keluhan 114 pegawai KPK ini disampaikan dalam
petisi yang diserahkan ke petinggi KPK. Petisi inimasih ditanggapi secara pasif oleh petinggi
KPK. Mereka mengatakan,
bahwa mereka
perlu mendalami petisi ini sebelum menindaklanjutinya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Tempo, tindak pidana korupsi makin
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. OTT KPK mulai meningkat dari tahun
2015 hingga
2018,
mulai dari
5 kasus pada 2015, 15 kasus pada 2016, 17 kasus pada 2017, dan meningkat
drastis menjadi 30 kasus pada 2018. Perintangan-perintangan yang dialami para penyidik
dan penyelidik KPK membuat
kasus korupsi yang jumlahnya makin meningkat menjadi makin sulit diberantas.
Permasalahan ini diangkat oleh Tempo di beberapa edisinya, baik dalam koran maupun majalahnya.
Korannya
yang terbit secara
harian mengangkat isu permasalahan di KPK
sebanyak 3 edisi berturut-turut, yaitu pada edisi 10, 11, dan 12 April
2019. Isu ini dimulai dari sorotan kepada pegawai KPK yang menyerahkkan petisi
tersebut. Tempo juga mendetailkan
hambatan-hambatan yang diterima oleh para penyidik dan penyelidik di KPK. Hal
itu juga ditunjang oleh
infografis
yang berhubungan dengan pokok masalah. Mulai dari OTT yang bocor di Hotel
Borobudur Jakarta, penetapan Dirut PLN Sofyan Basyir sebgai tersangka kasus
korupsi PLTU yang terkesan diulur-ulur oleh salah satu petinggi KPK, perlakuan
khusus kepada beberapa tersangka, hingga pelanggaran berat yang dilakukan oleh
penyidik KPK yang berasal dari kepolisian ditampilkan dalam secara repetitif
dalam edisi-edisi tersebut.
Dalam isu ini, Tempo
menyasar satu nama yang diduga merupakan penyebab munculnya hambatan-hambatan
tersebut, yaitu Deputi Penindakan KPK, Inspektur Jenderal Firli. Dugaan ini
berasal dari keterangan para pegawai KPK yang menandatangani petisi. Inpektur
Jenderal Firli juga terkesan menghindari kejaran Tempo sehingga belum berhasil diwawancarai. Sampai saat ini, belum ada konfirmasi dari pihak
yang bersangkutan.
Dalam kajian media, wacana yang dipaparkan di atas
bukanlah wacana yang dominan. Wacana dominan yang digulirkan media saat itu
adalah Pemilu 2019. Bahkan sampai saat ini, wacana Pemilu 2019 masih terus
digulirkan. Wacana tentang surat petisi terhadap perintangan penyidikan dan
penyelidikan di KPK sama sekali tidak diangkat oleh media arus utama.
Media memang merupakan alat bagi kelompok dominan untuk menguasai
kelompok yang tidak dominan. Kepentingan kelompok-kelompok yang tidak dominan
sering kali tidak terakomodasi di pemberitaan media arus utama, semisal peristiwa surat petisi
pegawai KPK ini. Dominasi kelompok dominan itu diraih dengan cara menghegemoni
masyarakat dengan wacana yang digulirkan. Melalui wacana tersebut, media mengonstruksi sebuah realita
sesuai dengan kehendaknya.
Sehingga masyarakat diharapkan mengabaikan realitas-realitas lain
di sekelilingnya yang memiliki
urgensi lebih tinggi.
Dalam hal ini, Tempo
mencoba mengakomodasi hal tersebut, bahwa di tengah-tengah wacana Pemilu 2019
ada wacana yang lebih penting, yaitu KPK yang saat ini sedang dilanda masalah. Tempo secara independen menentukan
agendanya sendiri yang berlawanan dengan agenda-agenda media arus utama pada
saat itu. Hal ini dilakukan agar masyarakat mampu melihat realitas lain yang
terjadi, selain dari realitas hasil konstruksi media arus utama.
Fenomena ini pun bisa
dikaji menggunakan
paradigma
kritis. Paradigma kritis mempunyai perhatian dan fokus khusus terhadap isu-isu
kekuasaan dan diskriminasi. Teori-teori kritis berusaha untuk memahami kondisi
masyarakat yang tertindas dan bagaimana cara mengatasi kekuatan yang menindas.
Salah satu sifat dasar teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan
kondsi masyarakat dewasa ini. Karena masyarakat yang kelihatannya produktif,
dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang
kelihatannya menindas dan menipu kesadaran khalayak (Eriyanto 2009: 24).
Berangkat dari paradigma tersebut, maka teori analisis wacana kritis model Norman
Fairclough merupakan teori
yang paling tepat digunakan untuk melihat peristiwa ini. Norman Fairclough berpendapat
bahwa analisis wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai
praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan
hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri
dari sebuah realitas, dan struktur sosial (Sobur, 2006)
Fairclough membagi analisis wacana kritisnya menjadi
tiga dimensi besar, yang pertama adalah text
analysis. Dalam dimensi pertama ini, teks dikaji secara ketatabahasaan atau
secara keilmuan disebut linguistik.
Kemudian,
dimensi kedua adalah discourse
practice Dimensi ini melihat bagaimana teks
ini diproduksi oleh pembuat teks dan bagaimana teks dikonsumsi oleh khalayak. Namun, karena keterbatasan jarak juga waktu maka
penulis hanya
akan melihat bagaimana teks ini dikonsumsi oleh khalayak dan apa responsnya.
Dimensi terakhir adalah sociocultural practice. Menurut Eriyanto (2009: 320), sociocultural practice didasarkan pada
asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar memengaruhi bagaimana wacana yang
muncul di media. Dimensi sociocultural
practice ini merupakan konteks makro dalam analisis ini dan merupakan
bagian akhir dari analisis.
Text Analysis
Analisis ini akan dibagi menjadi tiga aspek, yaitu
representasi, relasional, dan identitas. Representasi merujuk pada bagaimana sebuah
peristiwa dikonstruksi dalam sebuah berita. Relasional menggambarkan bagaimana
hubungan antarsubjek dalam sebuah berita. Terakhir identitas, yaitu mengkaji
bagaimana pembuat berita berpihak.
Pada aspek pertama yaitu representasi, ada beberapa
poin penting yang bisa diperhatikan. Pertama adalah bagaimana Tempo mengonstruksi pemberitaan surat
petisi pegawai KPK bukan sebagai sebuah peristiwa, melainkan tindakan. Dalam representasi tindakan,
pembuat teks memaparkan para aktor yang melakukan tindakan dan akibatnya.
Sedangkan dalam representasi peristiwa, sebuah teks hanya memasukkan satu
partisan saja dan menghilangkan akibatnya.
Dalam wacana ini, surat petisi pegawai KPK
menghadirkan beberapa aktor, yaitu pegawai KPK yang direpresentasikan oleh
penyidik dan penyelidik, dan pimpinan KPK yang direpresentasikan oleh beberapa
pejabat teras KPK, salah satu yang paling disorot adalah Inspektur Jenderal
Firli, Ketua Deputi Pendindakan KPK. Petisi ini muncul karena Inspektur
Jenderal Firli yang dianggap menghambat kinerja pegawai KPK. Berikut kutipannya
dari berita Pimpinan KPK Pelajari Petisi
Penyidik di Koran Tempo edisi 10
April 2019.
Berdasarkan
kutipan di atas, jelas sekali bahwa Inspektur Jendral Firli direpresentasikan
sebagai penyebab masalah di KPK. Surat petisi para pegawai KPK
direpresentasikan sebagai akibat dari sebuah tindakan yang diarahkan kepada
para pegawai KPK.
Sekarang mari berlanjut ke aspek relasional. Aspek
ini mencoba menganalisis bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang terlibat di
dalam sebuah teks. Hubungan-hubungan ini dikonstruksi oleh media sehingga
menghasilkan sebuah pemahaman baru terhadap sebuah realitas.
Tempo
memperlihatkan beberapa hubungan di dalam berita-berita yang terkait dengan
surat petisi pegawai KPK ini. Beberapa di antaranya adalah hubungan antara KPK
dengan kepolisian, hubungan pegawai KPK dengan para petinggi KPK, dan yang
terakhir hubungan antara pejabat teras KPK yang diisi oleh lima komisioner
dalam menyikapi permasalahan-permasalahan di KPK.
Hubungan KPK dengan pihak kepolisian dikonstruksikan
secara khusus oleh Tempo. Tempo seakan mendikotomi KPK menjadi
pihak internal KPK dan kepolisian. KPK tidak digambarkan sebagai entitas yang
utuh. Pihak kepolisian dikonstruksikan sebagai pihak yang tidak menyadari bahwa
ada permasalahan, atau bisa jadi sebagai sumber permasalahan itu sendiri.
Kepolisian
di sini juga dikonstruksikan sebagai ancaman bagi KPK. Kepolisian, baik yang
ada di KPK maupun yang ada di pihak kepolisian itu sendiri kerap menjadi batu
penghalang KPK dalam berbagai penyidikan dan peyelidikan. Hal ini terlihat pada
saat Tempo mengilas balik ancaman-acaman
yang dialami KPK beberapa waktu lalu.
Edisi
10 April 2019:
Text analysis
berikutnya adalah aspek identitas. Aspek ini mencoba menganalisis bagaimana
keberpihakan produsen teks. Keberpihakan ini terlihat pada bagaimana produsen
teks, dalam hal ini Tempo,
memosisikan dirinya di pemberitaannya. Dalam fenomena ini, Tempo bisa dikatakan memihak kepada pegawai KPK yang mengajukan
surat petisinya. Pegawai KPK dilawankan oleh banyak pihak di sini, mulai dari
kepolisian dan petinggi KPK. Pemberitaan ini pun pada akhirnya minimbulkan
simpati kepada pegawai KPK yang diancam, didiskriminasi, dan dihalang-halangi
dalam menjalankan tugas.
Sociocultural
& Discourse
Practice
Sociocultural
practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang
ada di luar memengaruhi bagaimana wacana yang muncul di media. Dalam
menganalisis hal ini, memetakan kondisi sosial masyarakat pada saat berita ini
diturunkan menjadi aspek yang fundamental. Setelah mengatahui kondisi sosial
masyarakat di luar, maka bisa dihubungkan motivasi suatu media terhadap
teks-teks yang diproduksinya.
Wacana ancaman terhadap KPK ini digulirkan pada 10,
11, dan 12 April 2019 lalu. Pada saat itu wacana dominan yang ada di masyarakat
adalah Pemilu 2019. Hampir semua media arus utama menggulirkan wacana dominan
ini. Semua serba-serbi Pemilu 2019 diberitakan secara masif dan intens. Hal ini
menyebabkan masyarakat mengarahkan pandangan secara penuh kepada Pemilu 2019.
Wacana-wacana lain yang urgensinya lebih tinggi menjadi tidak terperhatikan
atau bias disebut
sebagai marginalized issue.
Tempo
memilih untuk mengangkat wacana KPK yang menjadi isu yang terpinggirkan
ketimbang wacana Pemilu yang superior. Hal ini bisa dikatakan sebagai upaya Tempo untuk menggulirkan counter wacana sebagai penyeimbang dan
lawan wacana dominan di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa
masyarakat tidak terlarut dalam hegemoni Pemilu 2019. Dengan diangkatnya isu
ini diharapkan masyarakat mampu melihat bahwa di balik Pemilu yang hiruk pikuk,
ada realitas lain yang tidak dikonstruksi media arus utama, para pegawai KPK
(kelompok tidak dominan) yang mengalami ancaman dan intimidasi tidak
terperhatikan dan harus mendapatkan sorotan juga dukungan
masyarakat.
Lalu bagaimana
khalayak mengonsumsi wacana yang digulirkan Tempo?
Teks-teks yang diproduksi oleh Tempo
ternyata tidak dikonsumsi secara maksimal oleh masyarakat. Wacana utama tetap
dominan di masyarakat, bahkan sampai pemungutan suara Pemilu 2019 telah usai,
wacana ini tetap hangat. Wacana dominan sesekali berganti dengan wacana
pemindahan ibukota. Setelah pemilu pun, Tempo
beberapa kali sempat menyinggung wacana ini. Namun wacana terpinggirkan tetap
terpinggirkan. Bahkan saat Inspektur Jendral Firli dikembalikan ke kepolisian
dengan alasan yang tidak jelas, hal ini masih bukan menjadi isu utama. Padahal Tempo dengan tendensius mencurigai bahwa
alasan Firli dikembalikan ke kepolisian adalah karena pelanggaran beratnya di
KPK.
Surat petisi yang diajukan para
pegawai KPK merupakan sebuah cerminan tentang betapa berantakannya
pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini semakin diperparah dengan
ketidakhadiran media dalam membantu pemberantasan korupsi. Apa yang dilakukan Tempo layak diapresiasi. Di tengah
pusaran Pemilu 2019 pada April lalu, Tempo
dengan independen menentukan agendanya sendiri dan tidak terbawa arus hegemoni
Pemilu 2019. Tempo juga dengan
independen mengambil sikap tentang bagaimana mereka membingkai kasus ini.
Dengan percaya diri mereka berpihak kepada kelompok yang didiskriminasi, yaitu
para pegawai KPK. Hal ini perlu diperhatikan dan diterapkan oleh media-media
lain.
|
Penulis: Faris Al-Furqan Redaktur: Nigina Aulia Ilustrator: Al Aniyah Pada awal April lalu, ratusan pegawai KPK mengungkapkan ham...
Bagaimana Tempo Mengangkat Wacana Terpinggirkan dan Isu Diskriminasi di KPK?
About author: Gelanggang
Cress arugula peanut tigernut wattle seed kombu parsnip. Lotus root mung bean arugula tigernut horseradish endive yarrow gourd. Radicchio cress avocado garlic quandong collard greens.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: