![]() |
Penulis: Ananda Bintang Redaktur: Nigina Aulia Desain: Diana Dewi |
Duar!
Duar! Duar! suara gas
air mata terlontar dari mulut polisi. Mereka menangkap siapa saja yang melawan
barikade tameng. Walau demikian, ada beberapa tameng polisi yang diambil
mahasiswa salah satu universitas yang masih belum memiliki rektor, tapi PLT
rektornya sok-sokan melarang demo.
Semerbak gas air mata masih tercium di kamar indekos.
Layar-layar di genggaman tangan, masih melulu memberitakan soal “kekerasan”.
Kini televisi tidak pernah terdengar. Hanya beberapa acara yang mampu mewakili
realita di lapangan.
Di media sosial, terutama instagram dan twitter,
bermunculan opini-opini pembenaran. Kita mudah sekali mencari pembenaran.
Apapun itu, sudah seharusnya diusut tuntas. Mengapa bisa terjadi? Kekerasan
bukanlah ajang mencari pembenaran, itu sudah melawan nilai kemanusiaan.
“Hidup Mahasiswa!” Tapi setelah mati, dirimu sudah bukan
mahasiswa lagi, kawan. Tetaplah berpikir rasional di tengah badai idealismemu menduduki
gedung hijau itu. Jangan-jangan bukan idealisme yang menggerakanmu, tapi
euforia dan ikut-ikutan saja agar seolah terlihat peduli. Substansi pun hilang, yang penting gontok-gontokan!
Poster-poster menggelikan tentang aspirasi yang
mendulang likes, banjir pujian, dan insta story yang membanjiri jalanan.
Sementara ketua BEM berbagai universitas berbicara lantang di depan mikrofon. Di
gedung DPR, di atas mobil demonstrasi, dan di acara talkshow yang
mengingatkan kembali fungsi-fungsi televisi.
Rancangan Undang-Undang masih diperdebatkan, tapi dua
kematian sudah melayang. Cukupkah itu Tuan? Kemana kau selama ini? Presiden dan
rakyat sama-sama pamer di media sosial. Tapi, tunggu, ada pula rakyat yang
tidak sama sekali memiliki kesempatan untuk memiliki media sosial. Bahkan untuk
makan pun mereka masih resah, seperti kita yang selalu khawatir bila kehilangan followers di media sosial.
Penokohan masih terjadi. Isu ditunggangi menjadi
gorengan yang gurih bagi media-media mainstream
dan pemerintah. Youtubers dan—konon—influencer turun ke jalan mencari konten, mencari uang, dan
mendulang simpati. Apa pun niatnya, setidaknya mereka berbaur dan berbagi
keringat dengan massa.
Tenang kawan, kau yang duduk termangu melihat layar media
sosial dan hilir mudik berwarna-warni mewartakan kekerasan, tidak murni menjadi
apatis. Kau yang mengomentari temanmu yang sedang turun ke jalan, setidaknya
kau peduli. Meskipun ada nada komentar berbau benci.
Pergerakan memang bisa berupa apa saja, kawan. Bisa
berbentuk dan melalui cara apa pun. Bahkan ketika kauminum teh atau kopi di
teras rumah sambil memaki orang-orang yang kau anggap tidak benar di media
sosial, itu bisa saja menjadi pergerakan. Pergerakan batinmu yang terusik. Hanya
saja kau tidak membagi keresahan itu di jalanan. Kau membagi keresahan itu di
linimasa milikmu, dan itu—saya pikir—adalah sebuah pergerakan.
Alerta!
Takbir! Sahut-menyahut di
jalanan. Melawan tiran yang terlalu tidur pulas. Tukang rujak, tukang cilor, dan
tukang-tukang lainnya memenuhi linimasa. Menertawakan kegaduhan yang terlalu
serius, atau sopir ojek online yang
selalu menanti “ambil aja kembaliannya”.
Kebahagaiaan sekaligus penderitaan yang menari indah di jalanan.
Tak lupa anak STM yang konon ditunggangi aktivis “Antifa”
dan polisi-polisi Thailand. Opini pembenarannya adalah mereka mengetahui yang
mereka perjuangkan, tentang keadilan rakyat, juga tentang penolakan RUU. Namun secara aksi,
kita tak bisa mengelak. Memang mereka datang untuk “menolong”, untuk melolong
hujatan, untuk tawuran, bukan menyuarakan aspirasi. Tak perlu naif, dan tak
perlu mencari pembenaran, Semaun pun akan mengatakan demikian. Buktinya—setahu
saya—semuda-mudanya Semaun tak pernah melempar batu ke polisi.
Ah, tenanglah. Mungkin minggu depan isu ini akan
tertutup oleh permainan video tik-tok
yang aduhai. Semoga kita tetap merasa salah, dan maafkan karena saya pun menjadi orang yang menyumbangkan banjir informasi dengan hadirnya
tulisan ini.
Sekali lagi tenang, sekarang, semua kawan saya sudah menjadi
aktivis. Jadi, jika pemerintah melakukan kesalahan bodoh lagi, siap-siap menjadi
bahan pergunjingan instastory kami! Kami berlipat ganda dan
selalu ada hype-nya.
Hidup kekecewaan! Tanpa
kecewa, turun ke jalan hanyalah omong kosong belaka.
Panjang umur kedewasaan!
0 komentar: