![]() |
Penulis: Nigina Auliarachmah Redaktur: Ashilla Rifanny & Limya Oktaviani Ilustrator: Ayu Fitriyani |
1
Sebuah kehebohan
terjadi hari ini. Berita di televisi terus mengumumkan bahwa koran tidak akan
terbit hari ini—dan sampai waktu yang tidak diketahui. Berita di media sosial
bahkan lebih heboh lagi, mengingat orang-orang sudah mulai berbondong-bondong
pindah dari dunia nyata ke dunia maya itu. Bahkan, pesan berantai yang selalu
diakhiri dengan kalimat “Sebarkan
pesan ini ke 7 orang temanmu. Jika tidak, maka kau akan ditimpa kemalangan
sampai tujuh turunan.” terus tersebar ke setiap orang
dengan berita yang sama—koran tidak terbit hari ini.
Tentu saja
berita-berita mengenai tidak terbitnya koran hari ini memiliki banyak versi.
Televisi mengatakan bahwa itu adalah salah satu upaya untuk mengurangi
penebangan pohon yang terus menghabisi
hutan di negeri ini. Namun di zaman sekarang, televisi sepertinya sudah tidak
dipercaya lagi oleh masyarakat. Buktinya orang-orang masih bertanya-tanya apa
yang terjadi dengan koran-koran itu meskipun sudah sering televisi menayangkan
berita tentang pelestarian lingkungan dan hubungannya dengan tidak terbitnya
koran hari ini. Orang-orang lebih tertarik mencari informasi mengenai
koran-koran itu di media sosial. Sudah kubilang, manusia sekarang lebih senang
tinggal di dunia maya.
Ada lebih banyak versi
berita yang beredar di dunia maya. Mungkin ini juga salah satu alasan
orang-orang tidak percaya pada televisi, karena hanya memberitakan satu versi
berita, sehingga mereka tidak bisa memilih versi mana yang paling menyenangkan
untuk mereka percaya. Tentu saja perkara benar atau salahnya berita tersebut
menjadi tidak terlalu penting, karena yang penting adalah berita yang paling
tepat di hati orang-orang—baik itu membuat senang, sedih, kecewa, maupun marah.
2
Aku adalah orang yang
paling terganggu ketika koran-koran itu berhenti terbit. Bagaimana tidak,
setiap pagi aku akan duduk di kursi rotan di beranda rumahku dengan secangkir
kopi dan sepiring gorengan hangat. Menikmati setiap tulisan yang disajikan
dalam koran tersebut sebelum berangkat ke toko—aku adalah seorang pemilik toko
kerajinan dari keramik di ujung jalan kota ini. Memang aku hanya senang membaca
berita-berita—dan tulisan apa pun—dari lembaran kertas seperti koran. Membaca
di media sosial membuat mataku sakit, dan aku termasuk orang yang tidak percaya
pada ocehan televisi. Tidak pernah kulewatkan selembar pun tulisan dalam koran,
meskipun itu hanya lembar iklan atau obituari orang-orang yang bahkan tidak
kukenal.
“Sudahlah! Tokomu tidak
akan bangkrut jika kau tidak membaca koran sehari!” ujar istriku ketika aku
terus uring-uringan sambil berdiri di depan pintu. Menunggu bocah loper koran
mengantarkan koran-koranku seperti biasa.
“Tapi koran-koran itu
penting!” kilahku.
“Tapi perut yang perlu
diisi dengan makanan yang dibeli dari uang hasil jualanmu di toko kita juga
penting! Sana berangkat ke toko!”
Aku mengembuskan napas
kasar. Semakin gusar dengan ocehan istriku.
“Tanpa koran, aku tidak
tahu apa yang terjadi di negeri ini kemarin, dan itu membuat hari-hariku di
toko terasa membosankan! Rasa bosan bisa membunuhku lebih cepat dan kau tidak
punya tulang punggung lagi!” ujarku.
“Kau bisa membaca
berita di gawai!” Istriku mendelik.
“Kemudian itu membuat
mataku sakit dan aku harus memakai kacamata dan semakin hari penglihatanku akan
semakin payah karena sinar-sinar dari gawai itu sedangkan catatan keuangan toko
kita tidak bisa menghitung dirinya sendiri!”
Kali ini istriku yang
menghela napas kasar. Pergi menuju kamar tidur dan menutup pintu dengan keras
setelah ia mengucapkan, “Terserah kau sajalah!
Asal kau tahu, kalau kau mati karena tidak bisa membaca koran, aku bisa
mengurus toko itu sendiri!”
Koran tidak terbit hari
ini dan hal buruk pertama yang terjadi karena tidak terbitnya koran adalah
pertengkaran dengan istriku.
3
Aku adalah orang yang
paling curiga ketika koran-koran itu berhenti terbit. Bagaimana tidak, setiap
pagi seorang loper koran akan mengantarkan koran ke rumahku,
dan aku akan membacanya dengan santai. Sungguh sangat aneh jika tiba-tiba saja koran
tidak terbit dengan dalih pelestarian lingkungan. Padahal sebelumnya sama
sekali tidak ada sosialisasi mengenai hal itu. Aku yakin ini adalah sebuah
konspirasi. Para penguasa itu pasti sedang merencanakan sesuatu untuk
menguntungkan diri mereka. Bisa saja masa lalu terulang kembali. Kita kembali
ke masa ketika kebenaran-kebenaran disembunyikan dan orang-orang pembela
kebenaran dilenyapkan. Salah satu langkah awalnya adalah dengan tidak adanya
koran hari ini.
Maka dari pagi,
aku sibuk dengan gawaiku. Berselancar di media sosial untuk mencari informasi
mengenai tidak terbitnya koran hari ini. Ada banyak sekali versi berita yang
kubaca. Namun hanya satu versi yang kupercaya dan sudah pasti itu yang paling
benar. Koran-koran yang tidak terbit adalah salah satu upaya penguasa untuk
mengembalikan zaman sekarang ke zaman dulu—zaman ketika penguasa harus selalu
benar dan siapa pun yang menentangnya adalah sebuah kesalahan.
Aku menyalin
artikel-artikel yang menurutku benar—dan sudah pasti benar—dengan semangat.
Kemudian aku kirim artikel itu melalui
gawaiku ke
grup keluarga, grup teman, grup hobi, grup kolega kerja, dan grup lainnya yang
kumasuki. Menyebarkan kebenaran adalah salah satu hal baik yang dapat kulakukan
di hari buruk tanpa koran ini.
“Kau bukannya harus
segara berangkat kerja?” Tiba-tiba ibuku muncul dari dalam rumah. Menatapku
heran.
“Sebentar, Bu.
Menegakkan kebenaran lebih penting dari pada bekerja,” ujarku. Pandanganku
tidak lepas dari gawai.
“Kebenaran apa?”
“Bahwa tidak terbitnya
koran hari ini merupakan konspirasi para penguasa.”
Ibu terdengar menghela
napas kasar. “Aku bosan mendengarmu berprasangka buruk pada para penguasa itu,”
gumamnya.
“Ini bukan prasangka
buruk, Bu. Ini kebenaran!”
“Ya terserah kau saja!
Karena kalau aku mengatakan bahwa mereka tidak seburuk itu, kau akan menuduhku
sebagai seorang antek penguasa,” timpalnya.
“Ibu seharusnya percaya
pada anakmu ini.”
“Satu-satunya hal buruk
yang kupercaya adalah jika kau tidak bekerja, kita tidak akan bisa makan.
Karena sekeras apapun kau menyuarakan kebenaranmu itu, tidak akan ada orang
yang menggajimu!” ujar Ibu dengan suara
meninggi. Memang susah sekali menyuarakan kebenaran, meskipun itu kepada ibuku
sendiri.
“Baiklah. Besok aku
akan pergi bekerja. Karena hari ini aku sudah terlambat dan bosku pasti akan
mengomeliku,” ujarku mencoba menenangkannya.
“Terserah! Tapi kau
jangan ada di rumah karena aku muak melihatmu dan suara-suara kebenaranmu itu,”
ujar ibuku datar, namun akhirnya dia menutup pintu rumah dengan keras dan
menguncinya.
Koran tidak terbit hari
ini karena konspirasi para penguasa itu dan hal buruk kedua yang terjadi karena tidak
terbitnya koran adalah aku diusir ibuku sendiri dari rumah.
4
Aku adalah orang yang
paling tidak peduli ketika koran-koran itu berhenti terbit. Untuk apa aku harus
peduli dan membuang waktuku untuk memikirkan tidak terbitnya koran. Bahkan
membaca koran adalah hal yang tidak pernah kulakukan. Jika bukan karena
kebiasaan almarhum mertuaku yang berlangganan koran, mungkin tidak akan pernah
ada loper koran yang mampir ke rumahku setiap pagi. Membuat tumpukan kertas itu
semakin bertambah di sudut ruang tamu.
Televisi mengatakan
bahwa tidak terbitnya koran adalah salah satu upaya untuk menjaga dan
melestarikan hutan negeri ini yang semakin hari semakin berkurang. Sudah jelas
aku tidak percaya pada televisi. Bukan karena salurannya sudah menjadi milik
pribadi orang-orang kaya—yang hanya akan menayangkan acara untuk menaikkan
citra dirinya—tapi karena aku bahkan
tidak percaya hutan itu ada. Aku belum pernah melihat hutan di negeri ini—dan
tidak pernah mencoba untuk mencarinya. Apa gunanya hutan untuk hidupku. Aku
membayangkan sebuah daerah dengan pepohonan yang rimbun, banyak nyamuk dan ulat
yang akan membuat kulitku gatal-gatal. Lebih baik tempat seperti itu memang
tidak pernah ada.
Pagi ini aku berbaring
di atas dipan yang berada di beranda rumahku dan hampir tertidur karena tidak ada
gangguan loper koran seperti biasanya. Betapa menyenangkannya hidup dalam
ketidakpedulian. Kau tidak akan memikirkan hal-hal yang memang tidak semestinya
kau pikirkan, berita-berita di koran, televisi, dan media sosial misalnya.
Namun, tiba-tiba aku tersentak dari
lelapku ketika menyadari ada yang kurang pagi ini selain kedatangan si loper
koran, yaitu tidak
ada sepiring pisang goreng di bawah dipanku.
“Marni, mana pisang
gorengku!” teriakku. Tidak ada sahutan dari dalam rumah.
“Marni!”
Tiba-tiba Marni datang
dari dalam rumah dan melemparkan piring plastik kosong kepadaku. “Jangankan
mengisi piring itu dengan pisang goreng, dengan nasi saja tidak bisa!” ujarnya.
Aku terduduk dan menatapnya heran.
“Bukannya bapakmu
mewariskan beras sekarung?” tanyaku.
“Itu dua bulan yang
lalu, bodoh! Kau pikir beras-beras itu abadi!”
“Astaga Marni. Kau
jangan membentak-bentak suamimu seperti itu.”
“Kau yang membuatku
habis kesabaran karena ketidakpedulianmu yang keterlaluan itu!” Marni terus
berteriak.
“Seharusnya kau
bersyukur Marni. Aku tidak membuatmu kesal karena memikirkan koran-koran yang
tidak terbit hari ini seperti suami-suami orang lain,” ujarku mencoba
menenangkannya.
“Cukup! Aku muak dengan
kelakuanmu! Bahkan aku kecewa mengapa aku tidak seperti istri-istri lain yang
uring-uringan karena suaminya merisaukan koran yang tidak terbit hari ini!”
“Jadi kau ingin aku
memikirkan mengapa koran tidak terbit hari ini?”
“Setidaknya itu membuatmu
terlihat memiliki perhatian terhadap keadaan di sekitarmu!” Marni terus
berteriak.
“Omong kosong!
Sudahlah. Aku mau ke toko kerajinan keramik di ujung jalan saja. Pemiliknya
selalu memiliki rokok untuk kuminta,” ujarku seraya berdiri dan pergi meninggalkan
Marni. Bahkan aku tidak peduli jika Marni kembali merasa kecewa karena aku yang
pergi lebih dulu sebelum dia mengusirku.
“Pergi sana dan jangan
pernah kembali! Aku akan lebih sejahtera kalau hidup tanpamu!”
Koran tidak terbit hari
ini dan aku tidak peduli, karena hal itu sama sekali tidak mempengaruhi
kehidupanku. Hanya omelan Marni yang sedikit berbeda dari biasanya.
5
Tiga orang lelaki
tengah duduk di bangku
yang terletak di depan sebuah toko kerajinan keramik. Ketiganya tampak murung.
Udara siang yang panas membuat mereka semakin tidak bergairah untuk melakukan
apapun. Ketiganya tampak tenggelam dalam lamunan dan isapan rokoknya
masing-masing. Sesekali mencecap kopi yang tersedia di depan ketiganya. Toko
kerajinan memang tidak seperti toko sembako yang selalu ramai oleh pembeli.
Maka ada banyak sekali waktu santai untuk pemiliknya. Apalagi setelah kejadian
menghebohkan hari ini. Tidak ada orang yang berpikir untuk membeli kerajinan
dari keramik.
“Benar-benar hari yang
buruk! Membuka toko hari ini hanyalah membuang waktu!” ujar salah satu lelaki
membuka percakapan. Nampaknya dia adalah pemilik toko keramik tersebut.
“Bahkan aku diusir
ibuku sendiri. Itu lebih buruk daripada tokomu yang tidak mendapatkan pembeli!”
timpal salah seorang dari mereka.
“Kau pikir aku tidak bertengkar dengan
istriku?
Dan koranku benar-benar tidak datang!” Si pemilik toko tidak mau kalah.
“Dasar konspirasi
sialan! Kita harus melakukan sesuatu untuk menghentikan konspirasi ini. Biar
bagaimana pun, koran-koran harus terbit lagi!” Lelaki yang sama menimpali lagi.
“Aku tidak peduli pada
konspirasimu. Aku hanya ingin koran-koranku datang lagi.”
“Kalian semua
berlebihan!” Lelaki yang sedari tadi hanya diam mendengarkan kedua temannya
akhirnya bersuara. Kemudian dia mengisap rokoknya dalam-dalam hingga bara di
ujungnya menyala cukup lama. Detik berikutnya asap mengepul dari mulut dan
hidungnya.
“Kau diam saja! Kau
bahkan tidak akan mengerti keadaan buruk hari ini.” Lelaki pemilik toko menyela
diikuti dengan anggukan temannya.
“Ya, memang
aku diam. Aku tidak uring-uringan karena koran tidak terbit dan aku tidak akan
melakukan apapun untuk membuat koran-koran itu terbit.” Lelaki si pengisap
rokok kembali menimpali.
“Karena kau tidak
membaca koran, kau tidak akan memahami hari buruk ini.”
Lelaki pengisap rokok
kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. Dia tampak menikmati setiap embusan asap
yang keluar dari hidung dan mulutnya.
“Hei sadarlah. Hari ini
tidak terlalu buruk. Bukankah setiap hari adalah hari-hari yang buruk? Sudahlah
nikmati saja kopimu, dan untuk istri kalian yang mengomel, anggap saja itu
bonus keburukan hari ini. Aku bahkan tidak peduli jika setiap hari Marni
mengomel atau bahkan meminta cerai.” Lelaki pengisap rokok kembali mengisap
rokoknya dalam-dalam.
Sebuah kehebohan
terjadi hari ini. Berita di televisi terus mengumumkan bahwa koran tidak akan
terbit hari ini—dan sampai waktu yang tidak diketahui. Berita di media sosial
bahkan lebih heboh lagi, mengingat orang-orang sudah mulai berbondong-bondong
pindah dari dunia nyata ke dunia maya itu. Bahkan, pesan berantai yang selalu
diakhiri dengan kalimat “Sebarkan
pesan ini ke 7 orang temanmu. Jika tidak, maka kau akan ditimpa kemalangan sampai
tujuh turunan.” terus tersebar ke setiap orang dengan
berita yang sama—koran tidak terbit hari ini.
0 komentar: