![]() |
Penulis: Wanti Ayu Aprilian Redaktur: Nigina Auliarachmah Desain: Yohanes J |
Akhir-akhir ini, media
sosial terlalu giat mengantarkan berita-berita sedih. Sebelum mencuatnya
berbagai aksi, ramai dari kita membicarakan rasialisme yang menimpa mahasiswa
Papua. Oh, betapa busuknya kita, bila perasaan “lebih tinggi
dari sesama manusia” telah muncul dan membuat kita buta hingga sulit membedakan
mana yang “manusia” dan mana yang
“monyet” hanya karena perkara bendera.
Ramai betul orang mempermasalahkan
jatuhnya bendera—yang
sebenarnya entah oleh siapa—itu sebagai
tameng, “tidak nasionalislah, tidak sayang negerilah” dan membuat beberapa dari
kita merasa mahasiswa Papua pantas diteriaki dengan sebutan “monyet, anjing,
dan babi”. Padahal, rasialisme terhadap Papua telah bergulir jauh sebelum perkara
ini muncul dan mengitari kita di beranda media sosial.
Setelah kasus Papua,
beberapa lingkaran cukup ramai membicarakan revisi undang-undang ketenagakerjaan.
Ibu saya juga, dia seorang buruh pabrik, setiap saya pulang, dia sering kali
mengeluhkan betapa tidak enaknya bila revisi
undang-undang tersebut telah ditetapkan. Walau beritanya tidak terlalu ramai,
kesedihan telah begitu lihai mengitari setiap lini kehidupan.
Namun, kesedihan belum
juga usai saat kabar mengenai pelemahan KPK ramai dibicarakan. KPK tengah
dilemahkan dari dan dengan berbagai cara, revisi undang-undang KPK yang tergesa
dan tentu saja bermasalah, juga pemilihan capim yang tak kalah bermasalah. Ah,
sulit betul bertahan di antara sekian banyak kekejian.
Sebelum ketiga kasus di
atas ramai dibicarakan, RUU PKS telah menuai kesetujuan dan ketidaksetujuan
dari berbagai pihak. Saya pernah mengikuti salah satu diskusi yang membahas
rancangan undang-undang yang satu ini. Namun keberpihakan akan selalu ada dan hal tersebut tentu
wajar-wajar saja. Jangan lupakan kejanggalan, ia selalu
hadir dan punya ruang. Saat pembicara memaparkan materi, saya dapat melihat
dengan jelas akan ke mana larinya diskusi ini, sebab keberpihakan begitu
kentara. Selain itu, ketika sesi diskusi, beberapa orang yang tak sepakat
dengan pemateri mendapat respons yang tidak menyenangkan. Akhirnya, saya pulang
dan membawa kekecewaan, siapa yang tidak sedih melihat sebuah diskusi yang
tidak sehat dan begitu sakit seperti itu.
Aksi:
respons atas segala kesedihan yang begitu giat mengitari
Kalau penasaran dan ingin mencari hal paling ramai
dibicarakan di media sosial akhir-akhir
ini, saya pikir aksi atau turun ke jalan adalah jawabannya. Aksi—saya
kira—merupakan puncak respons masyarakat atas kesedihan dan kekecewaan yang
terlalu giat mengitari.
Semua kesedihan
tertimbun, semua kekecewaan terkubur, semuanya menumpuk dalam diri kita yang
betul-betul rapuh. Hingga akhirnya, ketidakkuatan menampung segalanya membuat kita merasa perlu bergerak, segala kesedihan
dan kekecewaan haruslah diperjuangkan.
Ada tujuh poin yang
didesak dalam aksi-aksi yang mencuat. Pertama, desakan mengenai penolakan,
pembatalan, dan pengesahan berbagai UU dan RUU. Kedua, desakan mengenai
pembatalan pimpinan KPK bermasalah yang dipilih oleh DPR. Ketiga, desakan
mengenai TNI dan POLRI agar tidak menduduki jabatan sipil. Keempat, desakan
mengenai penghentian militerisme di Papua dan daerah lainnya. Kelima, desakan
mengenai penghentian kriminalisasi aktivis. Keenam, desakan mengenai penghentian
dan pencabutan izin korporasi yang menyebabkan karhutla. Ketujuh, desakan
mengenai penuntasan pelanggaran HAM, adili penjahat HAM, dan pulihkan hak
korban. Selain tujuh poin di atas, massa pun mendesak pemerintah membentuk tim
independen untuk menginvestigasi dan mengadili aparat pelaku tindak kekerasan.
Hal-hal tersebut
dituangkan dan diperjuangkan dalam aksi-aksi yang begitu masif belakangan ini.
Semoga didengar, semoga diwujudkan. Mereka yang didesak memang tidak buta,
mereka bisa melihat bahkan ketakutan dengan berbagai gerakan yang begitu masif
ini. Namun, kita tetap perlu memastikan kesehatan telinga yang mereka punya
Buzzer dan
Pentingnya Melakukan Verifikasi
Hal yang tak kalah
mengkhawatirkan di antara segala gawatan yang terjadi adalah sikap para buzzer pemerintah. Sedih sekali melihat
berbagai kabar bohong yang mereka sebarluaskan
lewat media sosial begitu cepat bekerja. Bukan apa-apa, hanya saja cuitan
mereka di media sosial tentu memiliki dampak yang tidak main-main, salah
satunya ialah memengaruhi pembentukan opini para pengikutnya.
Di antara segala
ketegangan ini, buzzer-lah yang punya
peran memperbanyak gawatan dan memperkeruh suasana. Berapa banyak kabar kabur mereka sampaikan tanpa ragu dan
malu-malu. Puncaknya saya kira muncul ketika mereka menyebarkan kabar mengenai
ambulans berlogo pemerintah DKI yang berisi batu. Mereka tentu saja bisa
menyebarluaskan apa pun semaunya, sebab mereka mendapat dukungan dari
pihak-pihak yang berkepentingan. Maka dari itu, penting sekali untuk melakukan verifikasi atas berbagai data
yang berseliweran di media sosial.
Melihat Polisi Bekerja
Hal yang tak kalah menarik,
ialah bagaimana polisi merespons aksi, bagaimana polisi melindungi mereka
yang—barangkali—tengah ongkang-ongkang kaki ketika masyarakat menyuarakan semua
kesedihan
dan kekecewaan. Sedangkan
sikap polisi begitu represif terhadap orang-orang yang tengah melakukan aksi.
Sedih sekali melihat
sikap diskriminatif polisi terhadap buzzer
pemerintah. Ketika Denny Siregar mengeluarkan cuitan mengenai ambulans pembawa
batu berlogo pemerintah DKI namun tak diadili, padahal para buzzer ini
memberikan disinformasi yang memperkeruh semua gawatan yang terjadi. Namun, di
sisi lain polisi malah sibuk memburu orang-orang yang dianggap terlibat
“kerusuhan”.
Polisi sempat menangkap
Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Meski akhirnya tidak ditahan, Dandhy
dijadikan tersangka dan dijerat dengan UU ITE atas kasus ujaran kebencian sebab
ia membuat twit terkait Papua. Sedangkan Nanda
ditangkap karena dianggap mentransfer sejumlah dana pada mahasiswa, singkatnya
ia dianggap mendanai aksi demonstrasi walau akhirnya hanya ditetapkan sebagai saksi.
Belum lagi sikap represif polisi terhadap para
peserta aksi.
***
Sedih sekali melihat
semua gawatan ini terjadi. Semoga segala gawatan ini segera reda, semoga semua
luka segera pulih, semoga semua duka segera luruh, dan semoga kebahagiaan
segera tumbuh.
0 komentar: