Penulis: Faris Al-Furqon
Redaktur: Billie Wijaya U
Redaktur: Billie Wijaya U
Ilustrator: Nur Afidati Shabira
Cobalah
nyalakan TV lalu setel Hitam Putih
atau berselancarlah di internet terutama di kanal berita seperti Tribun atau Detik dengan ponsel canggihmu. Niscaya kamu akan menemukan hal yang
kurang lebih mirip jika membicarakan topik disabilitas. Pembahasan tidak akan
jauh-jauh dari kisah sedih ataupun heroik tentang orang cacat,
Sekarang kamu puas bersedih-sedihan,
merasa termotivasi, dan lebih bersyukur atas kondisi fisik dan mentalmu setelah
menikmati semua kisah itu dari TV dan internet. Hal yang perlu kamu lakukan
selanjutnya adalah ambil novel Biola Tak
Berdawai karya Seno Gumira, Saman
karya Ayu Utami, dan Orang-Orang
Bloomington karya Budi Darma dari rak bukumu atau jika tidak punya,
pinjamlah ke perpustakaan terdekat. Jika cukup jeli, niscaya akan kautemukan
suatu hal yang baru tentang disabilitas dan kau akan menyadari semua hal yang
kamu dapat dar TV dan internet tentang kaum disabilitas hanya bualan yang
diciptakan untuk membuatmu merasa lebih baik. Lantas sebenarnya apa yang sedang
terjadi di sini?
Sastra dan realitas sosial tentu memiliki hubungan
yang amat erat. Bergerak di dunia yang imajiner, sastra mampu membentuk sebuah
kompleksitas kehidupan manusia yang beragam. Dalam kajian sosiologi sastra, hal
ini dinamakan pendekatan mimetik. Pendekatan ini melihat bagaimana sastra mampu
membentuk sebuah cerminan realitas kehidupan manusia.
Jurnalisme juga memiliki kemampuan demikian.
Mengkonstruksi realitas memang hakikat dasar jurnalisme. Dengan produk-produk
jurnalistiknya, jurnalisme mampu menghadirkan bentukan dunia tersendiri dan
tentunya memengaruhi persepsi dan opini khalayak dalam memandang realitas.
Namun dalam hal ini, meskipun memiliki hakikat yang sama, posisi jurnalisme
lebih superior dibandingkan sastra. Jurnalisme memiliki saluran dan jangkauan
yang lebih masif dibandingkan dengan sastra.
Walaupun memiliki kesamaan dalam hakikatnya
mengkonstruksi realitas, jurnalisme dan sastra memiliki perbedaan dalam
mengkonstruksi realitas tersebut. Jurnalisme dengan segala atribut yang melekat
padanya seperti berbagai macam kepentingan dari ekonomi sampai politik atau
bahkan kode etik nampaknya banyak memengaruhi cara jurnalisme mengkonstruksi
realitas. Sastra yang lebih bebas dari kepentingan dan kode etik akan lebih
leluasa mengkonstruksi hal tersebut.
Dalam perbandingan ini, bisa diambil dari cara
jurnalisme dan sastra menghadirkan kaum disabilitas. Kalangan yang sering
termarjinalisasi dalam masyarakat ini sering diobjektifikasi atau bahkan
dikomodifikasi dalam jurnalisme. Mereka mungkin tidak dianggap ada selain
mereka yang berprestasi. Atau bahkan kehadiran mereka ditujukan untuk
mengundang rasa iba dan simpati kita sehingga membuat kita merasa lebih baik.
Konstruksi semacam itulah yang lazim dimunculkan dalam jurnalisme. Lantas
bagaimana dengan sastra? Apakah sastra mampu menjawab ketidakmampuan jurnalisme
menghadirkan problema disabilitas yang lebih humanis dan sesuai dengan
realitas?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di sini akan
dipaparkan beberapa karya sastra yang menampilkan isu disabilitas, entah itu
sebagai tema utama atau bukan, dan bagaimana hal itu ditampilkan dalam karya
sastra. Apakah sastra menghadirkan perspektif lain dalam memandang disabilitas,
ataukah malah mengukuhkan konstruksi jurnalisme atas disabilitas.
Contoh pertama datang dari salah satu karya Seno
Gumira Ajidarma, Biola Tak Berdawai.
Novel ini merupakan enkranisasi dari film dengan judul yang sama. Novel yang
terbit di tahun 2004 ini bercerita
tentang Dewa, sorang anak yang memiliki autisme, bisu, dan bertubuh kecil
karena sistem otak yang tidak bisa berkembang. Dibuang oleh orang tua
kandungnya, Dewa tinggal bersama ibu asuhnya, Renjani di sebuah panti asuhan di
Yogyakarta. Dewa berada di antara percintaan ibu asuhnya, Renjani dan Bhisma.
Kisah yang dituturkan oleh sudut pandang Dewa ini sarat dengan pergulatan dan
konflik batin Dewa.
Sebagai anak disabilitas, Dewa tidak ditampilkan
dengan menjual rasa belas kasih karena dirinya merupakan anak yang cacat. Dewa
memiliki pikiran dan perasaannya sendiri. Di sini, disabilitas yang melekat
pada Dewa hanya ditampilkan sebagai kondisi, dan tidak mengubah fakta bahwa
dirinya masih manusia yang memiliki perasaan dan pikiran seperti manusia
normal. Dia bukan seonggok daging cacat yang tumbuh dan tidak memiliki kehendak
apa pun. Dewa juga menjadi sentral dalam kisah ini. Berbagai interaksi simbolik
yang dilakukan Dewa dengan tokoh-tokoh lain membangun pondasi cerita menjadi
sangat kuat. Sungguh menarik melihat bagaimana seorang anak autis yang bisu
berkomunikasi dengan tokoh lain dan pembaca tentang apa yang dipikirkan dan
dirasakannya. Kecacatan Dewa mungkin tidak akan terasa sama sekali sepanjang
cerita. Di sini, Seno Gumira, selaku penulis mungkin bermaksud untuk menegaskan
bahwa penyandang disabilitas juga seorang insan, walaupun berbeda dengan insan
kebanyakan.
Contoh lain bisa kita temui di novel Saman karya Ayu Utami. Novel yang
mengenalkan Ayu Utami kepada khalayak sastra ini berpusat pada beberapa tokoh
sentral, salah satunya Wisanggeni, yang di akhir cerita mengubah namanya
menjadi Saman yang berjuang membela sebuah kampung kecil Sei Kumbang menghadapi
marjinalisasi dan diskriminasi. Di tengah-tengah perjuangan Wisanggeni membantu
warga kampong Sei Kumbang, hiduplah Upi. Ia adalah seorang gadis
keterbelakangan mental yang dipasung orang tuanya. Kehadiran Upi yang menjadi
motivasi utama Wisanggeni untuk menolong kampong kecil itu. Namun ada yang
menarik dari kehadiran Upi dalam cerita ini. Upi digambarkan sebagai gadis
dengan hasrat seksual yang tinggi. Ia bisa bercinta dengan siapa saja dan di
mana saja. Di sini keterbelakangan mental Upi tidak menjadikannya aseksual. Ayu
Utami, sebagai pengarang, dengan lantang meneriakkan sisi kemanusiaan Upi yang
paling mendasar, yaitu memiliki hasrat seksual. Disabilitas yang biasanya di
media-media arus utama digambarkan sebagai mahluk aseksual, dijungkirbalikan
oleh Ayu Utami dalam penggambaran tokoh Upi.
Penggambaran yang lebih ekstrem dan jujur tentang
disabilitas disampaikan oleh Budi Darma di kumpulan cerpennya Orang-Orang Bloomington. Di salah satu
cerpennya berjudul Orez, kisah
berpusat pada Orez, seorang anak cacat dengan keterbelakangan mentalnya. Orez
kerap kali merepotkan kedua orang tuanya dengan kecacatan dan keterbelakangan
mental yang melekat pada dirinya. Kecacatan Orez bahkan memengaruhi kehidupan
keluarga itu dalam segala aspek. Mereka harus pindah rumah berkali-kali karena
kelakuan Orez. Kehadirannya kerap membuat orang tuanya malu dan bahkan berusaha
untuk membunuh Orez. Di sini, disabilitas dibingkai dari perspektif orang-orang
di sekitar penyandang disabilitas. Dengan jujur, Budi Darma mengungkapkan
perasaan-perasaan yang tidak pernah terungkap dari mulut orang tua seorang
penyandang disabilitas. Konflik batin orang tua seperti perasaan malu dan kesal
yang berujung pada niatan untuk mengeyahkan
anaknya sediri adalah hal paling jujur yang muncul dalam hubungan orang
tua dengan anak penyandang disabilitas. Hal ini tidak perlu dianggap sebagai
hal tabu. Justru seharusnya hal ini bisa dianggap sebagai kemampuan sastra
memperlihatkan realita yang sejernih mungkin. Tidak bisa dipungkiri konflik
seperti ini pasti ada dalam isu disabilitas.
Dari pemaparan di atas, tentu sangat egois jika
mengatakan bahwa sastra mampu lebih baik menghadirkan realitas tentang
disabilitas dibandingkan jurnalisme. Namun contoh-contoh yang telah dijelaskan
di atas setidaknya secara tidak langsung mengungkapkan bahwa sastra mampu lebih
fleksibel, jujur, dan terbuka membicarakan disabilitas. Sastra mampu menyentuh
palung terdalam sisi kemanusiaan pada isu disabilitas yang sepertinya belum
mampu disentuh oleh jurnalisme. Pada akhirnya, dalam sastra, kita semua adalah
manusia, tidak peduli atribusi fisik, mental, atau apapun itu yang melekat pada
diri kita.
0 komentar: